Sistem Peradilan Pidana Adversarial vs Inquisitorial: Studi Komparatif

Pada Rabu, 28 Februari 2024, telah diselenggarakan kegiatan diskusi ilmiah dengan tema “Sistem Peradilan Pidana Adversarial vs Inquisitorial: Studi Komparatif”. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ilmu Hukum, dan bertempat di Aula Fakultas Syariah dan Hukum. Diskusi ini diikuti oleh mahasiswa, dosen, serta pemerhati hukum pidana yang memiliki ketertarikan terhadap perbandingan sistem hukum di berbagai negara.

Diskusi dibuka dengan menekankan pentingnya memahami perbedaan pendekatan dalam sistem peradilan pidana, mengingat Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum campuran memiliki tantangan tersendiri dalam menegakkan hukum yang adil dan efisien.

Hadir sebagai narasumber Bapak Rajin Sitepu, M.Hum, seorang akademisi dan pakar hukum pidana. Dalam paparannya, beliau menjelaskan secara rinci perbedaan mendasar antara sistem adversarial, yang banyak dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon (seperti Amerika Serikat dan Inggris), dengan sistem inquisitorial yang lazim digunakan di negara-negara Eropa Kontinental (seperti Prancis, Jerman, dan Belanda).

Beberapa poin penting yang menjadi fokus diskusi antara lain:

  1. Peran Hakim dan Pihak dalam Persidangan
    Dalam sistem adversarial, hakim bersifat pasif dan lebih sebagai penengah, sementara pihak-pihak yang bersengketa (jaksa dan penasihat hukum) yang aktif membangun argumen. Sebaliknya, dalam sistem inquisitorial, hakim berperan aktif dalam menggali fakta dan memimpin proses pembuktian.
  2. Proses Penyelidikan dan Pembuktian
    Sistem inquisitorial mengandalkan proses investigasi yang intensif sejak awal, sementara sistem adversarial lebih mengandalkan pembuktian terbuka di persidangan, di mana argumen dan saksi diuji melalui proses silang.
  3. Efisiensi vs Keadilan Prosedural
    Diskusi juga menyoroti aspek efisiensi dan potensi bias dalam kedua sistem. Sistem inquisitorial dianggap lebih efisien dalam beberapa kasus, namun berisiko terlalu mengandalkan institusi negara. Sistem adversarial dinilai memberi ruang lebih besar bagi pembelaan, namun sering kali memakan waktu dan biaya tinggi.
  4. Relevansi untuk Indonesia
    Indonesia, yang menganut sistem hukum warisan Eropa Kontinental dengan beberapa pengaruh adversarial dalam praktik peradilan, berada di posisi yang unik. Para peserta berdiskusi mengenai kemungkinan perbaikan sistem yang ideal bagi Indonesia dengan mengadopsi kelebihan dari kedua sistem tersebut.

Sesi diskusi berlangsung dinamis, dengan banyak peserta yang mengajukan pertanyaan kritis, termasuk mengenai posisi korban dalam kedua sistem, peran jaksa, serta isu reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia. Kegiatan ini ditutup dengan kesimpulan bahwa baik sistem adversarial maupun inquisitorial memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang paling penting adalah bagaimana suatu sistem dapat menjamin perlindungan hak asasi manusia, menjunjung prinsip keadilan, dan dapat dijalankan secara konsisten dalam praktik. Pemahaman komparatif ini diharapkan dapat memperkaya wawasan peserta dan mendorong kajian lanjutan dalam pengembangan sistem peradilan pidana yang ideal di Indonesia.